Karawitan Keraton Surakarta sebagai Simbol Perlawanan Terhadap Dominasi Politik Pemerintah Hindia Belanda pada Masa Pemerintahan Pakubuwana X

Category:

Description

Judul               :  Karawitan Keraton Surakarta sebagai Simbol Perlawanan Terhadap Dominasi Politik Pemerintah Hindia Belanda pada Masa Pemerintahan Pakubuwana X

Penulis            :  Prof. Dr. Rustopo, S.Kar, M.S.

No. ISBN        : 978-623-6469-31-6

Penerbit          : ISI Press Surakarta

Tahun             : 2022

Jumlah Hal     : 236

Deskripsi        :

Pasca Perang Jawa (1825-1830), keraton Surakarta kehilangan wilayah kekuasaannya. Sejak pemeintahan Pakubuwana VII sampai dengan Pakubuwana XI, raja hanya berkuasa di sekitar kedaton (Baluwarti) saja. Sejak masa pemerintahan Pakubuwana IX ditengarai adanya perlawanan melalui simbol-simbol budaya, yang diteruskan oleh Pakubuwana X. Perlawanan yang dilakukan oleh Pakubuwana X, di antaranya dilakukan dengan musik karawitan yang dikemas dalam berbagai acara dan upacara keraton. Setidaknya ada tiga macam bentuk kemasan karawitan yang dilegalkan di keraton Kasunanan Surakarta pada waktu itu. Pertama, bentuk kemasan karawitan yang mengikuti kaidah estetika tradisional klasik. Kedua, bentuk kemasan campuran (sintesa) antara karawitan tradisional klasik dengan musik Barat. Ketiga, bentuk kemasan campuran berbagai macam dan jenis ensambel gamelan dan alat musik. Tulisan ini selain menjelaskan tentang eksistensi ketiga bentuk kemasan itu, juga mempermaslahkan mengapa karawitan keraton Kasunanan Surakarta berkembang seperti itu. Berdasarkan hasil analisis yang dibantu dengan pelacakan historis, dapat disimpulkan bahwa hal itu terjadi berhubungan dengan kedudukan keraton Kasunanan Surakarta di dalam situasi politik yang berkembang saat itu. Pakubuwana X sebagai Sunan yang kekuasaannya sangat dibatasi oleh pemerintah kolonial Belanda, ‘harus’ melakukan perlawanan. Hal itu dilakukan, di satu pihak untuk mengikuti tata aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda, dan di lain pihak untuk melawan secara simbolik dominasi penguasa untuk memperoleh kembali kewibawaan raja dan kerajaan di mata masyarakat yang terus merosot sejak pemerintahan Pakubuwana VII.